Dalam kurun 15 tahun terakhir ini industri dan bisnis sapi potong baik di segmen hulu (on farm) maupun di segmen hilir (off farm) masih menarik untuk dibahas meskipun apabila dibandingkan perunggasan tidak ada artinya.
Bisnis perunggasan mencapai omzet di atas Rp400 triliun per tahun, sedangkan daging sapi hanya sekitar Rp40 triliun.
Optimisme Peternak Sapi 2006
Di awal Pemerintahan Presiden SBY tepatnya di tahun 2006 merancang sebuah program swasembada lima komoditas pertanian dan salah satunya adalah Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) di tahun 2010. Berdasarkan PSDS 2010 ditargetkan, di tahun 2010 impor daging sapi maksimum hanya 50 ribu ton.
Untuk menunjang program tersebut yang menjadi lingkup Departemen Pertanian, dalam Blue Print atau Roadmap dirancang berbagai kegiatan antara lain Sarjana Membangun Desa, Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) serta kegiatan proyek lainnya.
Optimisme Peternak Sapi 2010
Sangat disayangkan ternyata PSDS 2010 “gagal” yang ditandai impor daging sapi baik berupa daging beku maupun dalam bentuk sapi hidup yang digemukkan di tahun 2010 mencapai lebih dari 250 ribu ton.
Sebenarnya kegagalan ini sudah diperkirakan sejak awal. Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) telah mengingatkan Departemen Pertanian bahwa PSDS 2010 hanya akan menjadi retorika politik.
Hal ini terjadi karena dalam Road Map yang disusun telah menggunakan berbagai data dan asumsi yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Optimisme Peternak Sapi 2014
PSDS 2010 yang gagal dilanjutkan di era pemerintahan Presiden SBY periode ke 2 melalui Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 (PSDSK, 2014) .
Tidak berbeda dengan PSDS 2010, dalam PSDS 2014 ditargetkan bahwa di tahun 2014 impor daging sapi maksimum 10% dari kebutuhan nasional atau sekitar 50 ribu ton.
Dalam kurun PSDSK 2014 inilah secara khusus di tahun 2011 dilakukan sensus sapi dan kerbau oleh BPS.
Hasil yang diperoleh hasil populasi sapi potong 15,175 juta ekor dan kerbau 1,3 juta ekor. Meski ada yang meragukan hasil sensus ini, bermodal angka populasi ini Kementerian Pertanian meyakini bahwa produksi daging sapi lokal telah mampu memasok sebagian besar kebutuhan daging sapi dan kemudian membatasi impor daging sapi maksimum 80 ribu ton per tahun.
Dalam Road Map PSDS 2014 tersurat bahwa apabila populasi sapi dan kerbau mencapai sekitar 17 juta ekor maka kebutuhan impor daging hanya 84 ribu ton.
Untuk itu mulai dilakukan kebijakan kuota untuk impor daging sapi. Kebijakan rem mendadak ini berimplikasi pada besarnya pemotongan sapi betina produktif karena mungkin sesungguhnya produksi daging eks sapi lokal tidak seperti yang diproyeksikan.
Kebijakan ini berlanjut sampai tahun 2014. Sebenarnya dengan keputusan ini Pemerintah secara tidak langsung menyatakan bahwa PSDSK 2014 telah gagal karena impor telah melampui volume yang dirancang dan diproyeksikan dalam Road Map PSDSK 2014.
Impor masih lebih dari 50% dari kebutuhan nasional daging sapi. Padahal menurut KPK, anggaran pemerintah yang telah dikucurkan untuk PSDSK 2010 dan 2014 sekitar Rp18 triliun.
Optimisme Peternak Sapi 2019
Semangat swasembada daging sapi masih tetap menyala di era pemerintahan Presiden Jokowi. Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan bahwa selain tekad mewujudkan swasembada Pajale (Padi, Jagung, Kedelai ), swasembada daging sapi menjadi salah satu target yang akan dicapai di tahun 2019.
Maka diperkenalkan program SPR (Sekolah Peternakan Rakyat). Setelah berjalan setahun dan menelan anggaran sangat besar, Dirjen Peternakan diganti dan program SPR dihentikan dan diganti program Upsus SIWAB (Upaya Khusus Sapi Wajib Bunting). Program Upsus Siwab ini juga diklaim telah mencapai sukses besar.
Optimisme Peternak Sapi 2026
Bersyukur bahwa setelah meninjau suatu peternakan sapi di Rumpin Tangerang sekitar dua tahun yang lalu, Presiden Jokowi menyatakan bahwa swasembada daging sapi akan terwujud di tahun 2026.
Kelihatannya Presiden Jokowi cukup peka dan lebih realistis setelah melihat kondisi yang ada dalam industri sapi potong sehingga menyatakan bahwa swasembada daging sapi digeser ke tahun 2026.
Target Swasembada Daging Sapi 2026
Tugas yang tidak ringan harus dihadapi oleh Menteri Pertanian Bapak Syahrul Yasin Limpo. Langkah beliau untuk melakukan pembenahan data merupakan langkah yang tepat.
Data yang benar dan akurat untuk sapi potong yang akan diperoleh dari Menteri Pertanian akan menjadi modal untuk menetapkan apakah swasembada daging sapi 2026 tercapai atau tidak.
Berdasar perhitungan yang kasar dengan asumsi konsumsi daging sapi per kapita per tahun seperti yang digunakan oleh Menko Perekonomian yakni 2,61 kg, dan jumlah penduduk Indonesia adalah 287 juta jiwa, maka kebutuhan daging sapi di tahun 2026 adalah 749 ribu ton. Sedangkan populasi sapi dengan kenaikan 4% per tahun di tahun 2026 diperkirakan populasi sapi hanya 19,96 juta ekor.
Dari populasi tersebut sekitar 12% yang dipotong atau sekitar 2,4 juta ekor. Dengan asumsi optimistis per ekor menghasilkan 170 kg, produksi daging sapi hanya 408 ribu ton. Berarti defisit 709 ribu ton yang berarti harus diimpor.
Apalagi apabila asumsi konversi tiap ekor sapi ke daging lebih rendah dari 170 kg/ekor, defisit kebutuhan daging sapi semakin besar. Sudah waktunya Pemerintah banting stir dalam menggariskan kebijakan dalam industri sapi potong.
Peluang yang ada dalam memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri harus dijadikan kesempatan untuk membangun peternakan sapi skala menengah untuk kelompok milenial dan memberdayakan wadah koperasi untuk menyatukan dan mengefisienkan usaha mereka.
Nasib Peternak Sapi
Sebelum era reformasi, jargon dalam industri sapi potong adalah: Sapi lokal sebagai tulang punggung, impor sapi bakalan sebagai pendukung, dan impor daging berkualitas sebagai penyambung.
Di sini tercermin bahwa komitmen Pemerintah harus mengedepankan peternakan sapi potong rakyat. Impor hanyalah sebagai pendukung dan penyambung.
Dalam realita saat ini sapi potong rakyat semakin termarginalisasi. Jawa Timur yang awalnya mengklaim sebagai provinsi yang surplus sapi potong dan sebagai gudang utama sapi lokal saat ini sudah defisit dan untuk memenuhi daging sapi harus menggunakan daging sapi dari daerah lain.
Kesimpulan
Secara umum dapat dikatakan bahwa mundurnya usaha peternakan sapi lokal atau sapi rakyat adalah dampak masuknya daging impor yang murah.
Konsumen semakin familiar dengan daging kerbau impor yang murah. Akibatnya para pejagal di Jabodetabek tidak mampu bersaing untuk menjual daging sapi segar dari sapi peternak rakyat.
Demikian pula halnya Horeka (Hotel, Restauran, dan Katering) dengan pertimbangan bisnis memilih daging yang murah.
Saat ini peternak hanya menunggu akhir dari usaha mereka kalau tidak ada kebijakan Pemerintah yang mampu mendongkrak mereka menjadi tulang punggung dalam memasok kebutuhan daging nasional .
Berdasar hasil Sensus Pertanian 2013 terdapat sekitar 5,5 juta rumah tangga peternak sapi potong dengan pemilikan sapi berkisar 1-4 ekor.
-Terima kasih-
0 Komentar